SELAMAT DATANG DI TELINGALEBAR.BLOGSPOT.COM-*PENGAWAL HUKUM DAN PENGAWAS KINERJA APARATUR NEGARA SERTA NKRI HARGA MATI-*

Jumat, 24 Agustus 2012

Pidato Presiden SBY mendapat Tanggapan LSM ORMAS

JAKARTA,EXTREMMEPOINT.COM : - Presiden RI SBY menyampaikan Pidato Nota Keuangan untuk RAPN (Rancangan Angaran Pendapatan Belanja Negara ) tahun 2013 ,tanggal 16 Agustus 2012 yang silam tentang Instrumen RAPBN sebagai wadah bertujuan mensejahterakan Rakyat ternyata mendapatkan tangapan dari Ormas,LSM terutama dari sekumpulan masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil untu APBN .Jakarta,Jumat (08/12).
Menurut temuan data dan informasi di lapangan extremmepoint.com mendapatkan surat pernyataan siaran pers yang dilaksanakan oleh KMSA (Koalisi masyarakat Sipil untuk RAPBN )sebagai berikut : Kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, telah merumuskan APBN Alternatif 2013,menemukan masih banyak persoalan dalam proposal anggaran yang diajukan Pemerintah, sebagai berikut : 1. Asumsi Ekonomi Makro, Memuja Pertumbuhan - Mengabaikan Kesejahteraan. Lagi-lagi indikator asumsi ekonomi makro yang dipergunakan Pemerintah belum merujuk realitas masyarakat dan indikator kesejahteraan lainnya. Pemerintah mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi 6,8 namun pada banyak sisi menyengsarakan sebagian masyarakat. Dalam rumusan RAPBN Alternatif, pertumbuhan ekonomi tidak dirancang setinggi pemerintah, tapi hanya 6,56%, namun memiliki mutu yang lebih baik karena bersadar pada sektor riil, yakni sektor pertanian dan industri pengolahan, sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Mengingat keduasektor ini menyerap lapangan kerja lebih besar dan area kemiskinan. Oleh karena itu, alokasi RAPBN sebagai stimulus harus lebih besar dialokasikan untuk sektor ini, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dirancang dalam APBN alternative pada kedua sektor ini, lebih tinggi dari yang diusulkan Pemerintah 2. Indikator Asumsi Ekonomi Makro Tidak Mencerminkan Realitas Rakyat. Terkait dengan kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut, asumsi ekonomi makro berikutnya adalah ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan Gini Rasio) dan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal. Asumsi ini dimasukkan dalam APBN Alternatif untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi benar-benar jatuh ke sebagian besar masyarakat. Gini Rasio Indonesia dalam 7 tahun terakhir mengalami pemburukan, sehingga pada 2011 angkanya menyentuh 0,41. Belumpernah dalam sejarah ekonomi nasional angka ketimpangan pendapatan setinggiitu. Oleh karena itu, dalam APBN Alternatif 2013 asumsi Gini Rasio diturunkan lagi menjadi 0,35 (diharapkan tiap tahun makin menurun sehingga bisa di bawah 0,30). Berikutnya, angka pengangguran terbuka (mereka yang bekerja minimal 1 jam per minggu) memang sangat rendah (pada Februari 2012 sebesar 6,32%), tapi proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal pada Februari 2012 sebesar 62,71%. Ini tentu menggambarkan rendahnya kualitas ketenagakerjaan nasional. Asumsi ini juga perlu dimasukkan dalam APBN Alternatif, sehingga proporsi pekerja informal turun menjadi 55%(setara dengan di China, tapi masih lebih buruk ketimbang Malaysia). Asumsiberikutnya adalah kemiskinan dan pengangguran. Kami berpandangan bahwa definisi kemiskinan yang selama ini dirumuskan pemerintah bertentangan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Definisi penduduk miskin yang hanya dinilai setara Rp 248.704 ribu/bulan jauh dari spirit nilai-nilai kemanusiaan. Sungguh pun begitu, dengan menempatkan standar internasional sebesar US$ 2/bulan barangkali juga kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya (khususnya dikaitkan dengan harga barang-barang yang berbeda antarnegara). Dengan dasar mempertemukan antara dua sisi itu, maka kami menggunakan data BPS dengan menggabungkan penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskinsebesar 55,52 juta (22,8%). Jika memakai pendekatan ini, maka penduduk miskin diukur dengan pendapatan minimal Rp 298.448/bulan/kapita (hampir Rp 10.000/orang/hari). Pada 2013 ditargetkan dapat menurunkan kemiskinan pada level 20,5% (berkurang 5 juta jiwa). Sementara itu, pengangguran terbuka tidak menggunakan patokan bekerja satu jam per minggu, tapi kurang dari jam 15 per minggu. Pertimbangannya, mereka yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu pendapatannya di bawah Rp350.000/bulan (sedikit di atas ukuran kemiskinan yang dipakai dalam APBN Alternatif ini). Pada Februari 2012 jumlah tenaga kerja yang tidak bekerja (kurang dari satu jam per minggu) dan bekerja antara 1-14 jam per minggu jumlahnya sekitar 12,5% (BPS, 2012), sehingga pada 2013 ditargetkan turun menjadi 11,0%. 3. Tax Ratio RAPBN 2013 masih jauh dari potensi sebenarnya. Pemerintah merancang tax ratio menjadi 12,7% PDB pada tahun 2013, dengan alasan tax ratio ini lebih tinggi jika memasukan pajak Migas dan Daerah, seperti kriteria yang digunakan negara-negara OECD, bahkan tahun 2012 telah mencapai 15,8%. Pemerintah lupa, jauh sebelum Dirjen Pajak memperolehremunerasi, pada tahun 2003 tax ratio tanpa memasukan pajak migas dan daerah pernah mencapai 14%. Seharusnya setelah diberikan remunerasi Dirjen Pajak mampu mencapai tax ratio yang lebih tinggi. 4. Pertumbuhan Anggaran Lebih dinikmati Birokrasi. Dalam nota keuangan RAPBN 2013, belanja RAPBN 2013 direncanakan Rp 1.657 trilyun atau naik 7,1% sebesar Rp 109,6 trilyun dibanding APBNP 2012. Namun, kenaikan dua kali lipat sebesar 14% justru diperuntukan untuk belanja pegawai. Peningkatan belanja pegawai mencapai Rp 28 trliyun, sementara belanja modal 25 trilyun. Membengkaknya belanja pegawai disebabkan skema pensiun PNS yang menjadi tanggungan negara sejak tahun 2009, bahkan jumlahnya mencapai Rp 74 trilyun atau mencapai 35% belanja pegawai, ditambah tambahan remunerasi yang diterapkan pada seluruh K/L di tahun 2013. Dan Lembaga non structural yang semakin menjamur. 5. Inefektivitas Belanja Modal. Meskipun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan belanja pegawai, alokasi belanja modal tahun 2013 naik menjadi Rp 193,8 tilyun. Namun, hal ini perlu dicurigai, dari pengalaman sebelumnya APBN 2012, alokasi belanja modal tidak efektif, hanya 32% yang benar-benar ditujukan untuk fungsi ekonomis. Dari penelusuran FITRA pada APBN 2011, misalnya ditemukan alokasi belanja modal yang lebih banyak digunakan kembali untuk birokrasi seperti pengadaan computer/notebook, kendaraan dinas dan gedung pemerintah, Oleh karena itu APBN alternative merancang belanja Modal Rp. 200 trilyun dengan minimal 60% dialokasikan benar-benar untuk fungsi ekonomi dan 75% dialokasikan pada daerah luar Jawa. 6. Manipulasi transfer daerah. Transfer daerah dialokasikan naik Rp 40,1 trilyun menjadi Rp 518 trilyun. Namun sesungguhnya, dari sisi proporsi alokasi transfer daerah tidak beranjak diangka 31% dari total belanja seperti tahun-tahun sebelumnya. Komponen DAU sebagaialokasi terbesar transfer daerah juga mengalami reduksi dari formula sebenarnya. Pemerintah menambahkan komponen subsidi sebagai faktor pengurang DAU (Dana Alokasi Umum). Selain itu, juga Pemerintah melabrak UU Perimbangan Keuangan, dengan mencantumkan kembali Dana Penyesuaian berupa Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) yang merupakan pinjaman dari bank dunia. Dalam APBN alternatif, kami merancang transfer daerah Rp 550 trilyun dengan asumsi mematuhi rumusan formula DAU (26% PDN) dan pengalihan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang sudah menjadi urusan daerah. 7. APBN selalu didesain defisit. Lagi-lagi pemerintah mendesain APBN defisit yang memberikan kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif. Di luar itu, APBN menjadi tergantung kepada pihak lain (luar negeri dan lembaga multilateral) dan dijejali dengan aneka kepentingan yang kontras dengan kepentingan nasional, sehingga kedaulatan fiskal tidak pernah berhasil diwujudkan. Oleh karena itu, desain APBN Alternatif ini dibuat berimbang sehingga dalam jangka panjang tidak membebani ruang fiskal untuk pembayaran utang. Dari pernyataan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejanteraan, mendesak DPR untuk menggunakan fungsi anggarannya dalam melakukan perombakan signifikan terhadap kebijakan asumsi ekonomi makro dan postur RAPBN 2013 untuk memenuhi amanat konstitusi dalam mensejahterakan rakyat Indonesia. Dan tidak terjebak dalam pembahasan proyek per proyek serta mafia anggaran. Jakarta, 24 Agustus 2012 Koalisi Masyarakat Sipiluntuk APBN Kesejahteraan (SEKNAS FITRA, INDEF, KAU, P3M, IHCS, TURC, Perkumpulan Prakarsa, YAPPIKA, KIARA, SNI, KERLIP, ASPPUK) CP: 1. Prof Ahmad Erani Yustika (INDEF/DN FITRA) 0812330355 2. Yuna Farhan (Sekjen FITRA)08161860874 3. Dani Setiawan (Koord. Kaolisi Anti Utang) 08129671744 4. Abdul Waidl (P3M/Sekjen KAI) 081280821339 5. Gunawan (Sekjen IHCS) 081584745469 Menurut Sekretaris LSM Telinga Lebar Surowijoyo,SE,SH kepada extremmepoint.com mengatakan,” Apa yang dipidatokan Presiden adalah benar kita sebagai lembaga kumpulan rakyat cukup mengawasi,memonitor pelaksanaanya ke jajaran Pemerintah Daerah terkait Pidato SBY ,”Ungkapnya. Dia menambahkan,” Pidato Presiden menurut hukum adalah suatu Ketetapan karena Beliau berpidato adalah sebagai Pimpinan Negara dan wajib Hukumnya Jajaran mulai dari Menteri ke bawah sampai tingkat terkecil harus melaksanakanya,Apabila tidak dilaksanakan oleh Pejabat kebawah dan ditemukan kejadian Penyelewengan sesuai Fakta dilapangan oleh LSM,ORMAS maka kita laporkan kepada aparat penegak Hukum terkait serta prosesnyapun kita kawal sampai adanya Putusan Vonis dari Peradilan,”Tambah Surowijoyo sambil menutup pembicaraan via ponsel kepada extremmepoint.com.Jumat 15.00 Wib (08/12). ( BONA )