SELAMAT DATANG DI TELINGALEBAR.BLOGSPOT.COM-*PENGAWAL HUKUM DAN PENGAWAS KINERJA APARATUR NEGARA SERTA NKRI HARGA MATI-*

Sabtu, 31 Desember 2011

Pejabat Dispendik Kota Surabaya "KORUPSI"

Ir. Yusuf  Masruh, MM : data (kwitansi) itu belum ada tandatangan saya meskipun dari pihak penerima sudah menandatangani juga memberikan stempel.
SURABAYA, EXTREMMEPOINT.COM : - Jumlah Dana Bos yang dikeluarkan oleh Dispendik Kota Surabaya untuk Anggaran Juli sampai dengan Desember 2011 ternyata yang diterima oleh SD Hang Tuah Karang pilang berkurang.(29/12/2011), 13.00 Wib.
Berdasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang dibuat pada 22/07/2011, M Taswin sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya telah menghibahkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Anggaran Juli sampai dengan Desember 2011 berjumlah sebesar Rp 47.850.000,- untuk (275 siswa x 6 bulan) x Rp 29.000,- kepada Yuliah Rohmiyati, Kepala Sekolah SD Hang Tuah yang beralamat di jalan Mutiara 1.6/118/AD-16 KBD Kecamatan Driyorejo, Surabaya tetapi kenyataannya yang diterima oleh pihak sekolah hanya Rp 46.980.000.
Ir.Yusuf  Masruh, MM sebagai Manajer BOS Kota Surabaya seharusnya mengetahui adanya kekurangan sejumlah Rp 870.000 itu.  Dan pada kwitansi yang ditandatangani juga distempel oleh Yuliah Rohmiyati adalah sebagai tanda terima dari Dana BOS yang dicairkan, hal tersebut juga melalui sepengetahuan Yusuf.
Menurut Danu, Humas Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Jatim, dikantornya jalan Gentengkali mengatakan,”Saya tidak tahu dengan masalah tersebut, lebih baik sampean ke Dispendik Kota Surabaya saja menemui Ir. Yusuf Masruh.”(29/12/2011), pukul 10.45 Wib.
Dia menambahkan, “Ada tigabelas(13) larangan peruntukan Dana Bos  adalah sebagai berikut :
1.      Disimpan dengan maksud dibungakan
2.      Dipinjamkan kepada pihak lain
3.      Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah ndan memerlukan biaya besar
4.      Membiayai kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD Kecamatan/Kabupaten/Provinsi/Pusat atau pihak lain, kecuali untuk menanggung biaya siswa/guru yang ikut serta dalam kegiatan tersebut.
5.      Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru
6.      Membeli pakaian/seragam/sepatu bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), kecuali untuk siswa penerima SSM
7.      Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat
8.      Membangun gedung/ruangan baru
9.      Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran
10.  Menanamkan saham
11.  Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar
12.  Membiayai kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasi sekolah, misalnya membiayai iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara keagamaan
13.  Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga diluar SKPD Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” begitu tegasnya dengan senyum yang menawan kepada extremmepoint.com.
Masih Danu,”Saya tidak tahu apa-apa tentang NHPD Dispendik Kota Surabaya.”
“Bapak tidak ada ditempat mas,” ujar Hermawan, bagian security (Linmas) di Kantor Dispendik kepada extremmepoint.com ketika akan menemui Kepala Dispendik Kota Surabaya. 29/12/2011 pukul 13.00 Wib.
Ditempat lain, Ir. Yusuf Masruh mengatakan,”Mas tolong dikonfirmasi dulu pada Kepala Sekolahnya karena pada data (kwitansi) itu belum ada tandatangan saya meskipun dari pihak penerima sudah menandatangani juga memberikan stempel.”
Yuliah Rohmiyati, Kepala Sekolah SD Hang Tuah ketika didatangi extremmepoint.com untuk dikonfirmasi dikantornya ternyata masih liburan sekolah.(HS/YOK).

POLDA BALI TETAPKAN TERSANGKA DIRUT BANK SWADESI

DENPASAR,EXTREMMEPOINT.COM:-Direktur Utama Bank Swadesi, yang beralamat di Jl. Samanhudi No. 37 Jakarta, Ningsih Suciati, dan para pejabat bank ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali karena diduga terlibat tindak pidana Perbankan sesuai UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998

  “Bahkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali sudah dikeluarkan Polda Bali tanggal 15 Desember 2011 lalu, surat ini ditandatangani oleh Direktur Reskrim Polda Bali Kombes Slamet Riyanto,” kata Jacob Antolis, S.H., penasihat hukum Rita Kishore Kumar Pridhnani (pelapor) kepada wartawan di Denpasar, Rabu (28/12) malam. Rita adalah pemegang sertifikat hak milik (SHM) No. 7442/Kelurahan Kuta atas sebidang tanah seluas 1520m2 berikut bangunan (villa Kozy) yang terletak di Jl. Kunti No. 9 RK, Seminyak, Kuta Utara. Rita melaporkan para pejabat bank asing ini dengan laporan polisi no: LP/233/VI/2011/Bali/Ditreskrim tanggal 25 Juni 2011.
Menurut Jacob Antolis, mengacu kepada UU Perbankan ini, Ningsih Suciati dkk ditetapkan sebagai tersangka karena pada intinya diduga dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank (ayat 1 huruf a); menghilangkan atau tidak memasukan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank (ayat 1 huruf b); mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut (ayat 1 huruf c). Ancaman hukuman penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya
 Rp 10 M dan paling banyak Rp 200 M.
  Atau mereka diduga dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (ayat 2 hufuf b). Ancaman hukumannya paling sedikit 3 tahun penjara dan paling lama 8 tahun serta denda minimal Rp 5 M, maksimal Rp 100 M.
   Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Bali, Acep Sudarman, dikonfirmasi pertelepon Rabu malam soal SPDP atas tersangka Ningsih Suciati dkk
 membenarkannya. “Ya betul kami sudah terima, baru-baru ini,” jawab Acep terburu-buru karena mengaku sedang ada kesibukan.
 Kasus ini bermula pada tahun 2008 ketika pelapor Rita Kishore Kumar Pridhnani selaku penjamin atas fasilitas kredit debitur atas nama PT Ratu Kharisma meminjam uang pada Bank Swadesi Denpasar dengan total plafond senilai Rp 10,5 M untuk perluasan usaha dengan jaminan tanah dan bangunan tersebut. Awalnya pelapor melaksanakan kewajiban membayar hutang lancar-lancar saja namun
  belakangan mulai ada sedikit masalah sehingga pemenuhan kewajiban tertunda.
  “Sesuai ketentuan Bank Indonesia, Bank Swadesi harus melakukan supervisi, pembinaan, pengawasan terhadap fasilitas kredit yang dicairkan agar fasilitas kredit dalam posisi aman dan lancar, dan apabila adanya keadaan luar biasa sehingga fasilitas kredit bermasalah maka seyogyanya pihak bank Swadesi melakukan langkah-langkah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai pembinaan dan mencari solusi jalan keluar agar nasabah seperti ini dapat kembali memenuhi kewajiban sebagai mana mestinya.
 PBI sudah memberikan pedoman bahwa apabila ada kredit bermasalah dapat dilakukan proses restrukturisasi kredit, reconditioning, dan resecheduling, dengan syarat bahwa obyek atau perusahaan yang dibiayai masih mempunyai prospek usaha yang baik. Tapi ini tidak dilakukan Bank Swadesi, justru klien saya langsung divonis pailit (dalam keadan tidak mampu) sehingga barang jaminannya dilakukan eksekusi lelang dengan nilai limit lelang jauh dibawah harga pasar yang wajar maupun berdasarkan penilaian independen,” tegas Jacob. Meski berbagai upaya hukum sudah dilakukan, Bank Swadesi ngotot mengajukan permohonan lelang ke KPKNL Denpasar melalui perusahaan jasa pra lelang PT Duta Balai Lelang.
  Anehnya, berdasarkan pengumuman lelang oleh Bank Swadesi, nilai limit lelang atas obyek tersebut berubah-ubah. Pada pengumuman tanggal 3 Februari 2011 untuk proses lelang eksekusi pertama, nilai limit lelang ditetapkan Rp 11,5 M. Pengumuman tanggal 28 April 2010, untuk proses lelang eksekusi kedua ditetapkan nilai limitnya Rp 9 M. Untuk proses lelang ketiga dalam pengumuman tanggal 22 September 2010 nilai limitnya diturunkan lagi menjadi Rp 7 M. Lalu diturunkan lagi untuk proses lelang keempat dan kelima menjadi Rp 6,3 M pada pengumuman tanggal 18 Oktober 2010 dan 11 Februari 2011. “Perubahan nilai lelang ini tidak disebutkan apa yang mendasari atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,” tuding Jacob.
Menurut pengacara dari Kantor Hukum Adhi Sogata ini, perubahan nilai limit lelang eksekusi tersebut tidak berdasarkan pada ketentuan pasal 36 ayat 1, 2 dan 3 jo
  pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 93/PMK.06/2010 dan pasal 1 ayat 1, pasa 10, pasal 11, pasal 14, dan pasal 18 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Tentu saja pelapor tetap keberatan. Selain karena proses awalnya diduga menyalahi aturan, juga karena
  nilai limit lelang dibawah harga pasar yang wajar dan penilaian independen. Malah melalui surat kabar, pelapor memasang pengumuman kepada siapapun agar tidak membeli villa Kozy karena sedang bersengketa. Hal ini juga diperkuat
  KPKNL Denpasar melalui suratnya No. S-1278/WKN.14/KNL.01/2010 tertanggal 01 Juni 2010 menjawab surat permohonan Bank Swadesi perihal penetapan hari dan tanggal lelang lanjutan ketiga. Pada intinya KPKNL menegaskan bahwa obyek lelang sedang dalam perkara di Pengadilan Negeri Denpasar sesuai register perkara No. 211/Pdt.G/2010/PN.Dps tanggal 22 April 2010 dan kuasa hukum penggugat mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Negeri Denpasar dengan perkara No. 260/Pdt.G/2010/PN.Dps tertanggal 21 Mei 2011
 terhadap obyek lelang dimaksud tidak dapat dilaksanakan lelangnya dengan mengunakan pasal 6 UUHT. KPKNL Denpasar menegaskan belum dapat menetapkan hari dan tanggal lelang karena sesuai ketentuan yang berlaku bahwa apabila terdapat gugatan dari debitur/pihak ketiga maka penjualan obyek tangungan dilakukan secara lelang dan memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan sesuai pasal 14 ayat 2 UUHT. Begitu juga
  perdebatan
  sengit selama proses lelang, toh tak
 menyurutkan tekad
  Bank Swadesi-sebuah bank asing karena 76 % sahamnya dikuasai Bank of India- meneruskan lelang dan Sugiarto Raharjo terus maju sebagai peserta lelang.
  Akhirnya Sugiarto Raharjo dinyatakan sebagai pemenang lelang dengan nilai Rp 6.386.000.000.
  Siapakah Sugiarto Raharjo? Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan dia adalah adik kandung Ningsih Suciati, Direktur Utama Bank Swadesi pusat yang bersama bawahannya menjadi tersangka dalam kasus ini.
Setelah memenangkan lelang, Sugiarto Raharjo kemudian merubah SHM tanah tersebut menjadi atas nama miliknya, meski BPN pusat telah mengeluarkan penegasan kepada BPN Badung agar tidak ‘mengutak atik’ SHM atas nama Rita Kishore Kumar Pridhnani karena sedang bersengketa-atas permohonan Jacob Antolis.
  Lalu berbekal kutipan risalah lelang No. 059/2011 tertanggal 11 Februari 2011, Sugiarto Raharjo mengajukan permohonan eksekusi rill sehingga keluarlah penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar No. 07/Pdt.Eks/Riil/2011/PN.Dps tertanggal 28 Juli 2011. Menanggapi surat ini, Jacob Antolis dalam suratnya No. 002/JC/EKS/VIII/2011 kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar memohon penundaan eksekusi rill karena berbagai kejanggalan seperti diuraikan di atas. “Kami mohon agar eksekusi rill ditunda dulu sampai proses hukum baik secara perdata, pidana maupun perlawanan eksekusi mendapat keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Jacob.(Tety)

PT LAJU PERDANA INDAH "RAMPOK"TANAH WARGA

Lahan seluas 130 hektar milik warga OKU Timur-Sumatera Selatan yang sudah dinyatakan sah kepemilikannya oleh Negara diambil dan dikuasai secara paksa oleh PT Laju Perdana Indah sebagai anak perusahaan PT Indofood Sumber Makmur Tbk.  
PALEMBANG, EXTREMMEPOINT.COM : - 64 Sertifikat Hak Milik(SHM) dan 66 SPPT warga OKU Timur, Palembang  semuanya berjumlah 130 hektar telah diserobot dan dikuasai secara phisik dengan paksa sejak 2002 hingga detik ini oleh PT Laju Perdana Indah (PT LPI) sebagai anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur Tbk.(28/12/2011).
Warga Oku Timur, Sumatera Selatan sejak 1992 mengerjakan lahannya dengan menanam pohon karet sebagai matapencaharian mereka satu-satunya, kemudian 2002 PT Laju Perdana Indah yang dikenal sebagai Pabrik Gula besar berskala Nasional yang berada disekitar lahan warga, tiba-tiba memperluas usahanya dengan cara melibas habis pohon karet dengan buldoser dan menguasai fisiknya dengan paksa, serta tanpa mengindahkan bukti alas hak atas  kepemilikan.
Tanah seluas 130 hektar juga termasuk menjadi target PT LPI untuk perluasan usahanya yang memerlukan lahan sampai 21.500 hektar tetapi cara perolehannya sudah menghalalkan segala cara dengan melakukan perbuatan  melawan hukum.
“Keberingasan PT LPI sudah diluar batas kemanusiaan dan telah meresahkan juga menyengsarakan warga OKU Timur-Sumatera Selatan ini, hal tersebut memberikan sinyal bahwa para Lembaga Executive, Legeslatif dan Yudikatif  tidak peka atau juga patut dicermati ada apa dibalik ini semua karena faktanya tidak ada respon yang dilakukan oleh DPRD I dan II, Bupati, Gubernur serta pihak-pihak lainnya yang terkait, sungguh sangat ironis sekali kejadian ini hampir 10 tahun genap dan lengkap usia penderitaan mereka,” jelas narasumber yang tak ingin disebut namanya kepada TIMSUS, Extremmepoint.com.(20/12/2011).
Dari hasil lidik TIMSUS Extremmepoint.com menemukan hampir semua lahan perkebunan perusahaan  di OKU Timur  semuanya  bermasalah, hal yang paling mendasar adalah izin lahan. Berdasarkan data yang ada, izin (HGU) Hak Guna Usahanya  tidak menggunakan nama perusahaan bersangkutan, tetapi menggunakan nama perusahaan lain serta kesemuanya adalah Tanah Negara yang sudah dihibahkan kepada warga saat Program Transmigrasi.
Disini pasti ada jual beli HGU, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya praktik pengalihan HGU, hal tersebut tidak boleh dilakukan karena termasuk dalam rana melawan hukum dan banyaknya lagi perkebunan perusahaan yang tidak berizin, akibatnya rakyat juga jadi korban, lantaran lahannya diambil serta dikuasai secara paksa.
Menurut Bambang, pemilik tanah bersertifikat ini,”Saya merasa dirugikan sejak 2002 hingga saat ini, sampai-sampai selama ini saya harus hutang sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sungguh kejamnya mereka dan PT LPI sudah tidak menghargai bahkan menginjak-injak harkat juga martabat manusia.”
Menurut Elli salah satu  pemilik tanah bersertifikat ini mengatakan,”Saya pasrahkan semuanya ini pada LBH agar ditindak lanjuti, untuk mendapatkan Hak dan Keadilan saya sesuai dengan hukum yang ada.”
Bambang dan Elli telah mencabut Kuasanya yang lama dikarenakan “tidak kooperatifnya lagi mereka(Pengacara)” alias melempem serta kami sudah tunjuk kuasa hukum baru yaitu LBH TRI DAYA CAKTI untuk membela saya,”  tegas keduanya.
Adapun Tim Kuasa Hukum yang baru yaitu Benhard Manurung, SH, MHum, Kukuh Priyo Prayitno, S.H dan Soetjipto H. Soekrisno, S.H.
Menurut Tim Kuasa Hukum dari LBH Tri Daya Cakti mengatakan,” Ya mas, memang kami ditunjuk sebagai Kuasa hukumnya yang baru, ini bukti Surat Kuasanya, kami sudah melangkah dengan Somasi I Nomor : 91/SKL-TDC/XII/2011, pada 07/12/2011 ternyata dari pihak PT LPI tidak ada tanggapan dan respon, maka kami terpaksa kirim lagi Somasi II Nomor : 99/SKL-TDC/XII/2011, 28/12/2011,” begitu jelasnya pada TIMSUS Extremmepoint.com.
Tim Kuasa Hukum dari LBH menambahkan, ” Bahwa sikap BPN (Badan Pertanahan Nasional), Kementrian Kehutanan dan Pemda (Pemerintah Daerah) setempat tidak tegas, karena jika kehadiran perusahaan itu tidak dapat memberikan keuntungan pada masyarakat setempat  “ya” izinnya harus dicabut dong.”  Dan hal ini membuktikan bahwa Lembaga BPN yang seharusnya paling bertanggung jawab, dalam tata kelola konflik pertanahan tetapi kenyataannya, amat sangat waria juga mandul, Dan pemerintah harus bertindak cepat memberikan payung hukum karena  rakyat  butuh kepastian hukum dalam penjaminan Hak dan Keadilannya.” Bahwa, adapun  mekanisme  yang harus dilakukan oleh lembaga BPN menyangkut pelepasan hak atas tanah Negara  adalah  “ BPN atas usulan warga mengajukan Permohonan pada DPR dan DPRI atas tanah tersebut, dan hasilnya di tuangkan dalam satu Lembaran Negara. Yang mana Isi tersebut menyatakan tanah atau lahan itu menjadi hak dan tanggung jawab warga setempat dan di pergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran warga tersebut. Dengan kata lain semua hak pemanfaatan atas tanah tersebut di pergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan warga.” (TIMSUS).
Nb : Barang siapa mengcopy berita ini adalah Pemeras, juga kami tunjukkan karya kebenaran yang sesungguhnya berdasarkan fakta dan data yang akurat serta citra rasa keadilan yang tinggi terhadap kepedulian Bangsa dan NKRI.