SELAMAT DATANG DI TELINGALEBAR.BLOGSPOT.COM-*PENGAWAL HUKUM DAN PENGAWAS KINERJA APARATUR NEGARA SERTA NKRI HARGA MATI-*

Senin, 11 Juli 2011

Kasus Prita Kembali Mencuat Minggu Lalu

Jakarta - LSM TELINGA LEBAR:- Pembaca tentunya masih ingat ketika menjelang Pemilu 2009 kasus Prita melawan RS Omni Internasional mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan sosial yang bukan main hebatnya, termasuk dari para politisi yang mencari simpati publik demi kursi di lembaga legislatif maupun eksekutif. Mereka berbondong-bondong mendukung pembebasan Prita dari penjara dan mengunjungi kediaman Prita di Vila Melati Residence, Tangerang.

Kala itu semua sukses mengeluarkan Prita dari penjara. Dukungan publik sampai pada puncaknya ketika Prita sedang harap-harap cemas menunggu hasil kasasi gugatan perdatanya di Mahkamah Agung (MA), setelah ia diputus oleh Pengadilan Tinggi Banten harus membayar Rp 204 juta kepada RS Omni International. Dengan lugas dan cerdas, publik melakukan citizen diplomacy melalui program gegap gempita 'Koin Untuk Prita' yang berhasil menggalang dana lebih dari Rp 800 juta. Hasilnya kita mengetahui bahwa gugatan kasasi perdata Prita dikabulkan oleh MA dan hampir seluruh media mengulasnya sebagai sebuah kemenangan publik atas kedigdayaan sektor bisnis.


Namun minggu lalu, publik kembali diganggu ketenangannya oleh putusan MA lainnya yang mengabulkan kasasi gugatan pidana Jaksa Penuntut Umum (PJU), di mana Prita harus segera dieksekusi. Putusan ini kembali merusak ketenangan publik.

Tampaknya publik memang belum bisa percaya dan bergantung pada lembaga peradilan. Rasanya ini bukan putusan sebuah lembaga peradilan tertinggi Republik Indonesia tetapi putusan MA di Republik Dungu. Putusan ini akan membuat preseden buruk perlindungan konsumen di Indonesia.

Langkah Bersama yang Harus Dilakukan

Kasus Prita seharusnya merupakan kasus kekecewaan konsumen terhadap layanan sektor jasa atau pelayanan kesehatan khususnya di RS Omni International, Alam Sutera yang dapat diselesaikan dengan mudah berdasarkan UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999. Persoalannya muncul ketika RS Omni sebagai pelaku usaha, yang menurut saya sangat berlebihan, menanggapi surat elektronik (surel) Prita yang menyebar luas ke publik. 

Saya pribadi berharap sebenarnya setelah tuntasnya tuntutan perdata di MA, selesailah sudah kasus ini. Namun rupaya pihak pelaku usaha yang penuh 'gengsi' tidak terima dan melanjutkan gugatan pidananya. Bagi saya dengan hancurnya citra lembaga peradilan di Indonesia, jalur mencari keadilan memang harus dicarikan jalan alternatif yang bijak dan tidak banyak ditunggangi oleh penumpang gelap yang haus popularitas.

Pertama lakukan secara terus menerus ajakan melalui situs-situs sosial untuk membantu Prita. Kedua membuat situs sosial bagi yang berperkara di lembaga peradilan lebih interaktif, termasuk meng-upload berbagai keganjilan proses hukum yang sedang dihadapi publik, supaya publik bisa memantau kemungkinan kecurangan aparat hukum. Ketiga perbanyak kelompok lobi pubilk atau yang biasa dikenal dengan nama citizen diplomator, yang secara aktif akan mempengaruhi dan melobi para pengambil kebijakan dan pelaku usaha.

Minggu ini merupakan saat kritis bagi Prita karena pihak kejaksaan akan mengejar atau meminta segera putusan MA yang mengharuskan Prita langsung digiring ke penjara. Bagi lembaga peradilan kasus Prita sangat penting karena akan digunakan sebagai jembatan memperbaiki citra mereka yang hancur lebur tak jelas. Jadi wahai teman-teman publik, mari kita galang langkah secepatnya.

Langkah berikutnya, meskipun kita tidak lagi percaya pada lembaga peradilan, kita perlu melakukan gugatan kelompok ke RS Omni International berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf b UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: "Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama".

Jangan lupa selain Prita, ada satu lagi konsumen yang sedang menderita dan tuntutannya dikalahkan oleh hukum akibat salah penanganan kesehatan, yaitu Pak AB Soesanto. Beliau patut diduga ditangani secara kurang benar oleh tim dokter RS Siloam Karawaci. Kasusnya sudah sampai ke pengadilan tetapi sekali lagi putusan PN Jakarta Utara berpihak pada pelaku usaha.

Sampai hari ini Pak AB Soesanto sudah menghabiskan biaya sangat banyak namun tidak kunjung pulih dan tidak ada penanganan lanjut dari RS Siloam. Untuk itu supaya bisa bersama-sama menghadapi para pelaku usaha maupun pengambil kebijakan yang mengecewakan konsumen, ada baiknya kita melakukan tuntutan kelompok (class action). Saya berharap teman-teman di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di seluruh Indonesia dapat menjadi inisiator tuntutan ini. Soal biaya pelaksanaan gugatan kelompok yang mahal, akan menjadi murah kalau kita 'bantingan' atau patungan.

Ini saatnya juga untuk LPKSM yang sudah beberapa tahun ini mati suri untuk bangkit membela konsumen sesuai tujuan didirikannya LPKSM termasuk YLKI. Saya percaya kalau kita secara bersama-sama mengadvokasi dan melobi pengambil kebijakan, seburuk apapun mereka pasti akan mendengar dan melaksanakan desakan kita. Kita sebagai penggugat harus cerdas dan bijak, supaya tidak dimanfaatkan oleh para penumpang gelap yang mencari keuntungan.

Sekali lagi mari kita secara cerdas dan bijak bersama-sama membela kepentigan kita bersama. Tanpa perjuangan bersama kasus Prita dan kasus-kasus sosial kemasyarakatan lainnya akan digunakan penguasa negara untuk menutupi atau menghilangkan kasus-kasus korupsi dan pencederaan publik yang mereka lakukan secara berjamaah dan membabi buta.

Jangan gantikan kasus Nazaruddin, Nunun, Andi Nurpati dari ranah publik dengan kasus Prita atau AB Soesanto dan lain-lain. Tetap fokus dan tetap berjuang bersama di Republik Indonesia agar tidak berubah menjadi Republik Dungu. Salam.

*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar