Suhammad (50), selaku kepala keluarga (KK) harus rela menghidupi sebanyak 9 anaknya yang diketahui masih kecil-kecil, namun karena orang tuanya hanya berprofesi sebagai seorang nelayan, keluarga besarnya terkadang hanya diberi makan atau asupan nasi tiwul, yakni nasi yang terbuat dari ketela yang sudah dihaluskan, sebagai pengganti nasi sebagai makanan pokok setiap harinya.
Ironisnya lagi, terkadang keluarga besarnya tersebut harus rela makan hanya satu kali dalam sehari. Itu terjadi jika orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai seorang nelayan itu tidak mendapat tangkapan ikan, pada saat pergi melaut bersama para nelayan yang lain di kampungnya.
“Karena saya tidak mempunyai keahlian yang lain, dan hanya menggantungkan hidup untuk mencari nafkah dari laut, tak jarang anggota keluarga saya hanya makan satu kali dalam sehari, jika pada saat melaut sepi dengan tangkapan ikan,” ujar Suhammad (50), Minggu (9/10).
Sedangkan untuk terus bertahan hidup di perkampungan nelayan, Sariani (48), selaku ibu rumah tangga bersama beberapa orang anaknya mencoba untuk meringankan beban suaminya, dengan cara mencari dam memungut daun kelapa yang sudah kering di sekitar perkampungan nelayan, daun kelapa yang sudah kering itu dijadikan sebagai kayu bakar dalam memasak.
“Karena penghasilan suami terkadang hanya Rp. 20 ribu setiap harinya, sejumlah uang tersebut tidak cukup untuk membeli beras, karena itulah, saya terpaksa hanya memberikan asupan manakan nasi tiwul kepada anggota keluarga. Sebab, setiap harinya, saya harus memasak sekitar 5-7 Kg beras. Itupun makan tanpa adanya lauk pauk, saya bersama anggota keluarga hanya makan nasi dengan sambel saja,” beber ibu dengan sembilan anak ini.
Tidak hanya itu, diderita yang dialami oleh keluarga nelayan di Dusun Langgar, Desa Wringin Anom, Kecamaran Asembagus, namun karena kemiskinan yang mendera kehdupannya, sebagian anak dari pasangan suami (Pasutri) Suhammad dan Sariani ini harus rela tidak meneruskan pendidikannya, yakni harus drop out (DO) dari sekolah dasar (SD) di kampungnya.
Ironisnya lagi, terkadang keluarga besarnya tersebut harus rela makan hanya satu kali dalam sehari. Itu terjadi jika orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai seorang nelayan itu tidak mendapat tangkapan ikan, pada saat pergi melaut bersama para nelayan yang lain di kampungnya.
“Karena saya tidak mempunyai keahlian yang lain, dan hanya menggantungkan hidup untuk mencari nafkah dari laut, tak jarang anggota keluarga saya hanya makan satu kali dalam sehari, jika pada saat melaut sepi dengan tangkapan ikan,” ujar Suhammad (50), Minggu (9/10).
Sedangkan untuk terus bertahan hidup di perkampungan nelayan, Sariani (48), selaku ibu rumah tangga bersama beberapa orang anaknya mencoba untuk meringankan beban suaminya, dengan cara mencari dam memungut daun kelapa yang sudah kering di sekitar perkampungan nelayan, daun kelapa yang sudah kering itu dijadikan sebagai kayu bakar dalam memasak.
“Karena penghasilan suami terkadang hanya Rp. 20 ribu setiap harinya, sejumlah uang tersebut tidak cukup untuk membeli beras, karena itulah, saya terpaksa hanya memberikan asupan manakan nasi tiwul kepada anggota keluarga. Sebab, setiap harinya, saya harus memasak sekitar 5-7 Kg beras. Itupun makan tanpa adanya lauk pauk, saya bersama anggota keluarga hanya makan nasi dengan sambel saja,” beber ibu dengan sembilan anak ini.
Tidak hanya itu, diderita yang dialami oleh keluarga nelayan di Dusun Langgar, Desa Wringin Anom, Kecamaran Asembagus, namun karena kemiskinan yang mendera kehdupannya, sebagian anak dari pasangan suami (Pasutri) Suhammad dan Sariani ini harus rela tidak meneruskan pendidikannya, yakni harus drop out (DO) dari sekolah dasar (SD) di kampungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar